Kamis, 21 Maret 2013

humas Aqua

Membeli Air Minum atau Botol Plastik

Andy Roddick; Mengambil Air Mineral di Sela-sela Pertandingan (Yahoo! News/AP Photo/Mark Avery)"Sumber air sekarang su dekaat." Begitulah celetukan seorang bocah dari Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, yang kini sering menyapa pemirsa televisi. Iklan air minum dalam kemasan produksi PT Danone-Aqua itu sering nongol di layar kaca.

Maklum, produsen air dalam kemasan terbesar di Indonesia itu sedang gencar melaksanakan program: satu untuk sepuluh. Program ini mengajak Anda meneguk satu liter Aqua yang berarti menyediakan 10 liter air bersih untuk warga di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Kawasan itu menjadi lokasi pelaksanaan program sumbangan air bersih PT Danone-Aqua hingga Juli mendatang.


Aqua menjalankan inisiatif sosial itu sejak dua tahun silam. Lalu, apakah semuanya tersenyum cerah seperti tertayang pada akhir iklan? Tidak juga. Kritik pedas datang dari Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Gadjah Mada (PSLH UGM), Yogyakarta. Lembaga ini menilai, sejumlah pabrik air minum dalam kemasan hanya menggunakan 25% air hasil pengeboran.


"Selebihnya, sekitar 75%, dibuang ke sungai," kata Eko Sugiharto, Kepala PSLH UGM. Aksi buang limbah bersih itu, menurut Eko, dilakukan pabrik air di kawasan di Klaten, Jawa Tengah, dan Sukabumi, Jawa Barat. "Mereka umumnya selalu mencari cadangan air di bawah batu yang posisinya tertekan. Jadi, cadangannya banyak," Eko menambahkan.


Begitu dibor, air segera menyembur deras. Tapi kandungan air di dalam perut bumi itu hanya bisa diduga. "Orang tidak tahu berapa banyak kapasitas cadangan air," kata Eko. Jika cadangan air ini sesuai dengan kapasitas pabrik, tentu pengolahan air akan efektif. Jika yang terjadi sebaliknya, "Air yang diolah hanya 25%. Selebihnya, sekitar 75%, dibuang ke sungai. Padahal, itu air bersih," ujar Eko.


Walaupun Eko menyebut nama pabriknya, PT Danone-Aqua merasa tersindir. Soalnya, PSLH mendasarkan temuan itu pada studi kasus sumber mata air Sigedang, Desa Ponggok, Polanharjo, Klaten. Mata air yang berjarak 7-8 kilometer dari perempatan Pasar Delanggu itu dikelola PT Tirta Investama, di bawah naungan Danone-Aqua.


Luas pabrik air itu mencapai 10 hektare, terletak di Desa Wangen, Polanharjo. "PSLH UGM pernah diminta Aqua untuk melakukan studi kelayakan di kawasan itu pada 2001," tutur Eko. Hasilnya, diketahui jumlah bahan baku air bersih di sana mencapai 30 juta liter per bulan. Awalnya, air yang keluar mencapai 12 liter per detik atau 21,5 juta liter per bulan.


"Pada waktu itu memang sesuai dengan kapasitas pengolahan pabrik yang mencapai 30 juta liter per bulan," kata Eko. Tapi kini air melimpah mencapai 35 liter per detik atau 54 juta liter per bulan. "Apalagi, kapasitas pabrik sekarang jadi separuh, 15 juta liter per bulan, sejak 2005," ungkap Eko. Walhasil, banyak air bersih yang terbuang.


Manajer Pengolahan Sumber Daya Air Danone-Aqua, Wahyu Triraharja, membantah temuan PSLH UGM itu. Kawasan Klaten mengandung 6 milyar meter kubik air per tahun, sedangkan Aqua hanya memanfaatkan sekitar 600.000 meter kubik per tahun. Sebenarnya, menurut Wahyu, untuk ukuran industri, jumlah itu relatif kecil. "Produsi Aqua di Klaten menyumbang sekitar 20% dari total produksi Aqua," kata Wahyu.


Ia menyatakan bahwa Aqua tidak membuang air bersih hingga 75% dari bahan baku. Namun, Wahyu mengakui, memang kadang-kadang terjadi overflow alias produksi yang berlimpah. "Debit air Sigedang adalah 64 liter per detik dan digunakan Aqua sebesar 30 liter per detik. Jadi, ada overflow 34 liter per detik," tutur Wahyu.


Kondisi itu terjadi, kata Wahyu, karena menyesuaikan diri dengan ketentuan pemerintah daerah setempat. "Industri memang dibatasi. Kami sebenarnya bisa saja memperbesar kapasitas pengolahan air sehingga dapat mengatasi overflow. Tapi kami tidak punya wewenang," Wahyu menegaskan.


Humas Korporasi Danone-Aqua, Michael Liemena, menyatakan bahwa mengurus perluasan kapasitas pabrik tidak gampang. "Proses izinnya rumit," katanya. Pabrik memang tak punya fasilitas penampungan untuk mengatasi limpahan air. Menurut Manajer Pabrik Budi Hartono, daya tampung tangki yang ada hanya mencapai 180.000 liter. Air limpahan ini juga tak mungkin dialihkan ke kawasan yang kekeringan karena akan makan biaya.


Akhirnya air limpahan dialirkan ke sebuah danau kecil. Seperti disaksikan Gatra, air danau limpahan ini memang segar dan jernih. Tapi, menurut Michael, tak berarti air bersih itu menjadi limbah dan dibuang. "Ada ketentuan pemerintah tentang pemberian maksimal 10% air untuk warga sekitar," kata Michael.


Dari danau kecil tadi, air disalurkan ke kawasan sekitarnya untuk program irigasi, yang jaraknya mencapai 8 kilometer. Menurut data Aqua, air limpasan ini dapat mengairi setidaknya 415 hektare lahan pertanian di 17 desa di Klaten. Selain itu, digunakan juga untuk perikanan dan sumber air minum.


Sistem pengairan itu pula, menurut Wahyu, yang membuat tata kelola air di kawasan Klaten relatif stabil. "Klaten merupakan kawasan yang airnya tergantikan (recharge area). Tingkat permukaan air tanah di sumur selalu pada posisi 6,8 sampai 7 meter," ujar Wahyu.


Berbagai upaya penghijauan pun turut berpengaruh. "Kami melakukan penanaman 60.000 tanaman keras, termasuk durian dan cengkeh," kata Koordinator Corporate Social Responsibility Aqua Jawa Tengah, Fainta Susilo. Meski begitu, Eko melihat, yang dikerjakan Danone-Aqua belum optimal.


Ia merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan ketentuan Departemen Kesehatan yang menyebutkan, "Air bersih seperti itu hendaknya untuk dikonsumsi," kata Eko. Lagi pula, ramalan tentang kondisi air bersih di berbagai kawasan Indonesia terus memburuk.


Keprihatinan Eko boleh jadi ada benarnya. Ketika musim kemarau tiba, neraca air di sejumlah pulau di Indonesia terus menyusut (lihat: Neraca Air Musim Kemarau). Lebih detailnya, coba lihat hasil penelitian Environmental Services Program (ESP)-USAID terhadap tiga sumber mata air utama, yakni di Cinumpang (Kecamatan Kadudampit), Batukarut (Kecamatan Sukaraja), dan Cigadog --semuanya berada di Sukabumi.


Debit air di tiga sumber mata air itu terus berkurang. Data ESP-USAID mencontohkan, debit mata air di Batukarut awalnya mencapai 150 liter per detik pada 1990. Jumlah itu turun drastis menjadi hanya 15 liter per detik pada tahun 2000. Ini akibat terjadi perubahan penggunaan lahan di kawasan resapan air di bagian hulu Batukarut.


Air tak bisa diserap dan disimpan. Cadangan air pun menipis. Kondisi relatif sama terjadi pada mata air lainnya. Karena itu, ESP-USAID mengembangkan sistem zonasi untuk menyelamatkan mata air. Mereka, antara lain, melakukan penghijauan, pembuatan sumur resapan, dan metode pelestarian lainnya yang disesuaikan dengan karakter tanah, topografi, serta sistem hidrologis kawasan itu.


Menurut Eko, masih ada cara lain untuk melestarikan lingkungan: berusaha tidak membeli air minum dalam kemasan. "Jika membeli air kemasan Rp 500, kita membayar untuk air Rp 50. Yang Rp 450 untuk kemasannya. Itu sama saja membeli sampah plastik," Eko menegaskan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar